KARAWANG |KUTATANDINGAN.COM | Warga Karawang mempertanyakan langkah PT FCC Indonesia yang melakukan rekrutmen tenaga kerja di SMKN 12 Bandung pada 21 Juli 2025. Kabar itu cepat menyebar dan memicu kemarahan publik, mengingat jumlah pengangguran lokal di Karawang terus meningkat.
Keputusan itu dinilai mencederai semangat keberpihakan terhadap tenaga kerja lokal. Sorotan tajam bermunculan di media sosial, hingga akhirnya memicu audiensi terbuka yang digelar di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Karawang, Rabu (23/7/2025).
Audiensi ini menghadirkan Kepala Disnakertrans Karawang, perwakilan manajemen PT FCC Indonesia, Humas DPP GMPI Mr. Kim, Ketua Paguyuban Sundawani, Ketua GMBI Kabupaten Karawang, Kepala Desa Wadas, para aktivis, serta pemuda Karawang.
Dalam forum, Mr. Kim mengecam pola rekrutmen yang dianggap berat sebelah. “Jangan sampai pabrik berdiri di Karawang tapi yang bekerja justru dari luar semua. Ini menimbulkan kecemburuan sosial,” ujarnya.
Pernyataan dari pihak HRD PT FCC Indonesia tak kalah kontroversial. Selain menyebut bahwa pelamar lokal banyak yang tidak memenuhi standar nilai, HRD PT FCC juga menyatakan, “Seringkali muncul anggapan di internal: ngajarin orang Karawang itu susah, mereka tuh gak pinter-pinter.”
Pernyataan tersebut memicu reaksi keras dari peserta audiensi.
Ketua IWO Indonesia DPD Karawang dan praktisi HRD senior, Syuhada Wisastra, turut memberikan tanggapan kritis terhadap pernyataan yang dianggap merendahkan martabat tenaga kerja lokal.
“Saya asli Karawang, dan selama lebih dari 30 tahun saya bekerja sebagai praktisi HRD, termasuk menjabat sebagai Manager HRD di berbagai perusahaan nasional dan asing (PMA). Jadi sangat keliru dan tidak pantas jika muncul narasi seolah-olah orang Karawang tidak mampu,” tegasnya.
Menurutnya, ketimbang menyalahkan kualitas pelamar, perusahaan seharusnya aktif membangun sistem pembinaan bersama pemerintah daerah dan sekolah vokasi.
“HRD itu tugasnya bukan hanya merekrut, tapi juga membina. Kalau hasilnya belum memuaskan, bangun pelatihan. Kolaborasi dengan desa, BKK, dan lembaga pendidikan, itu solusi jangka panjang,” ujarnya.
Kritik untuk Apindo, Kadin, dan Forum HRD Karawang
Lebih lanjut, Syuhada juga mengkritik peran lembaga dan asosiasi yang seharusnya menjadi jembatan antara dunia usaha dan masyarakat.
“Apindo, Kadin, dan forum-forum HRD yang ada di Karawang seharusnya tidak diam. Apa fungsi mereka kalau perusahaan seenaknya rekrut dari luar dan masyarakat lokal dirugikan? Ini saatnya mereka bicara, bukan hanya duduk di forum-forum diskusi tanpa dampak konkret,” kecamnya.
Ia menilai bahwa asosiasi pengusaha dan forum HRD seharusnya punya sistem evaluasi terhadap perusahaan-perusahaan anggota agar tunduk pada prinsip keadilan sosial.
“Jangan hanya jadi wadah rapat atau kumpulan elitis yang jauh dari persoalan riil di lapangan. Ketika warga Karawang dibenturkan dengan perusahaan, mereka (Apindo, Kadin, dan Forum HRD) ke mana? Jangan sampai mereka hanya jadi stempel legalitas untuk kebijakan rekrutmen yang diskriminatif,” tegasnya.
Syuhada mengajak semua pihak agar kembali ke semangat kolaboratif membangun Karawang dari bawah. “Kalau semua hanya sibuk jaga nama baik organisasi, tanpa keberpihakan nyata pada rakyat, maka organisasi itu kehilangan makna sosialnya,”tegasnya.
Ketua IWO Indonesia DPD Karawang, praktisi HRD senior juga pemilik puluhan media online, Syuhada Wisastra, turut menyoroti peran Pemerintah Kabupaten Karawang dalam merespons sorotan dunia industri terhadap kualitas tenaga kerja lokal.
Menurutnya, jika ada perusahaan yang berani menyampaikan anggapan bahwa “ngajarin orang Karawang susah”, maka itu menjadi cermin dari lemahnya intervensi pemerintah daerah dalam penguatan kapasitas SDM lokal secara sistematis.
“Pemerintah tidak cukup hanya memfasilitasi audiensi atau menengahi konflik. Sudah saatnya Pemkab Karawang menyusun roadmap nyata peningkatan kualitas tenaga kerja. Jangan tunggu perusahaan datang baru sibuk cari solusi,” ujarnya.
Syuhada menekankan bahwa pemerintah harus hadir dari hulu ke hilir: mulai dari pembenahan kurikulum SMK, penguatan Balai Latihan Kerja (BLK), hingga mendorong kolaborasi konkret dengan industri.
“Selama ini pembinaan SDM masih seremonial. Kegiatan pelatihan sebatas simbol, tanpa target terukur. Ini yang menyebabkan perusahaan sering ragu terhadap kualitas anak-anak Karawang. Padahal potensi kita besar, hanya perlu sistem yang membina dengan serius,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal belum optimalnya fungsi Disnakertrans dan BKK di tingkat sekolah yang seharusnya menjadi ujung tombak rekrutmen dan pembinaan tenaga kerja.
“Kalau sistem pelatihan kita kuat, pelamar dari Karawang tidak akan kalah bersaing. Tapi kalau pemerintah terus bersikap reaktif dan tak punya skema jangka panjang, ya wajar perusahaan lebih percaya pada daerah lain yang siap,” ujarnya.
“Pemerintah harus bangkit. Jangan biarkan warga Karawang terus dianggap kelas dua di tanahnya sendiri. Saatnya perkuat SDM dari desa-desa, dari sekolah-sekolah, dan hadapi industri dengan kesiapan, bukan sekadar keluhan.”pungkasnya
(Red)